Kualitas mental yang menentukan, bukan sekedar Intektual
Pada satu malam saya bertemu dengan wali santri yang tengah makan malam di Rumah makan bibi saya. Trlihat dua orang tua dan seorang anak dengan pakaian khas santri keluar mobil. Karena sudah malam, maka mereka pun memilh makan diluar sambil ngobrol, nampak kelelahan pada wajah ayahnya. Iseng saya bertanya tentang siapa beliau dan darimana asalnya. Ternyata beliau dari Bondowoso, tujuannya adalah untuk memindahkan puteranya yang santri baru dari Gontor 1 ke Gontor 5 Banyuwangi. Saya terkejut, memindahkan puteranya dari Gontor 1 ke Gontor 5? Kok terdengar aneh? Seorang santri yang sudah mengikuti berbagai ujian masuk di Gontor, bersaing dengan 3240 santri lain. Atas izin Allah berhasil menembus saringan itu, bahkan namanya betengger di Gontor 1 yang merupalkan centre of exellent. Ini memnta dipindahkan ke Gontor 5 Banyuwangi ? Ada apa sebenarnya?
“Anak saya ini mengeluh tidak betah pak. Satu minggu di Gontor dia telfon berkali-kali. Mengeluh tidak betah. Dia mau pindah pondok yang dekat-dekat Situbondo saja. Dia mengancam akana pulang sendiri jika dia tidak dipindahkan. Akhirnya ya mau bagaimana lagi pak, saya debat dengan dia tadi malam. Saya bilang kalau kamu pindah ke Gontor lima kamu pasti nangis, kamu pasti ga kerasan, pasti merengek-rengek lagi. Kamu mau pindah kepondok manapun pasti yang kamu alami sama. Ayo kalau kamu mau pulang, kamu jaga toko abah. Ga usah sekolah...!!
Akhirnya dia mau pindah ke Gontor 5 pak, dengan syarat bahwa satu minggu sekali orang taunya harus menjenguknya. Saya heran pak, dia dulu aktifis osis di sekolahnya, tapi ternyata mentalnya tidak berdaya di Gontor...”
Saya pandang anak muda itu dengan menarik nafas panjang. Gagah, tinggi, karena dia memang lulusan SMP.Cerita sepert ini biasa terjadi di Gontor hampir setiap tahun. Biasanya diantara dua, anaknya yang rewel atau orang tuanya yang kerepotan. Keduanya sebenarnya sinergi, kalau orang tuanya rewel, maka anaknya biasanya juga tidak betah di Gontor. Kalau orang tuanya memikirkan terlalu dalam, todak percaya kepada pesantren, kurang ikhlas, maka biasanya anaknya di pesanyren demikian juga adanya...
“Nak, saya dulu juga sekolah di Gontor. Saya ini konsulat Ponorogo. Rumah saya sangat dekat dengan kampus Gontor 1 ini. Mau ditengokin setiap hari istilahnya juga pasti bisa. Kalau saya mau kabur juga ga akan ketahuan, karena dekatnya rumah saya dengan Gontor. Saya juga dulu lulusan SMP baru masuk Gontor.Tapi dua minggu awal saya di Gontor, saya menangis, sering menangis, bahakn hampir setiap hari saya menangis. Setiap kali saya tidur, saya liat atap asrama saya, saya terigat atap rumah saya. Saya lihat kasur tidur saya, saya bayangkan kasur tidur saya dirumah. Jauh lebih tebal dari ini. Saya menangis lagi. Setiap dibangunkan sholat subuh, saya ingat ibu saya yang ga pernah membangunkan saya subuh sampai saya bangun sendiri. Tapi disini jam 4 pagi saya sudah dibangunkan. Saya ga pernah mandi ngantri, bahkan mandipun saya bisa berlama-lama dirumah, tapi disini saya harus mempercepat mandi saya dengan air yang tidak sebersih air rumah saya. Saya menangis. Saya merasa dibuang disini, setiap kali melihat teman-teman saya. Saya membayangkan betapa sengsaranya hidup setiap hari tanpa ada wanita disini, sambil membayangkan nostalgia smp saya waktu itu. Saya hanyut dalam memori kelam masa lalu saya.
Sampai suatu hari, saya berkenalan dengan teman saya asal kalimantan. Dia baru lulus SD, tapi karena badannya besar maka masuk di rayon KIBAR (Asrama untuk anak-anak dewasa). Dia bercerita bahwa dari rumahnya ke Pelabuhan itu menemupuh jarak 8 jam dengan kendaraan Umum. Dan itu dia tempauh denga BERSEPEDA, karena bapaknya pada waktu itu bilang bahwa beliau tidak mempunyai banyak uang. Cuma uang pendaftaran ke Gontor dan menyeberang ke Jawa yang beliau punya waktu itu. Maka dia berangkat ke Pelabuhan dengan bersepeda. Sampai di Jawa dia ke Gontor dalam keadaan tidak tahu Gontor itu dimana. Cuma dia tanya-tanya kepada orang-orang di pelabuhan, sehingga dia harus ganti menumpang truk berkali-kali untuk sampai ke Gontor ini. Dia berfikir, kalau sampai dia tidak lulus di Gontor. Entah bagaimana dia hatus pulang ke Kalimantan dan dimana dia tinggal. Dia serius belajar untuk ujian masuk, sehingga dia bisa lolos dan bisa tinggal di Gontor sekarang. Dia tidak berharap orang tuanya menjenguknya setiap minggu, bahkan setiap tahun pun tidak. Karena dia tahu kondisi bapaknya. Dia Cuma berharap doa Bapak Ibunya agar dia lancar belajar di Gontor. Biar kelak bisa kembali ke Kalimantan dengan ilmu yang cukup...
Setelah itu saya terhenyak. Saya berhenti menangis, apa-apaan saya ini. Saya orang Ponorogo yang setiap hari bisa pulang, bisa mnta dikirim lauk setiap hari. Saya juga lulusan SMP, harusnya bisa kebih dewasa dari anak ini. Dia jauh dari pedalaman Kalimantan, lulusan SD lagi. Tapi tekadnya besar, hatinya kuat untuk menuntut ilmu. Sehingga dia harus menempuh perjalanan berliku sehingga sampai di Ponorogo ini. Ya Allah, aku saya malu nak...saya malu 100%. Saya berhenti menangis saat itu juga. Saya tidak boleh kalah dengan anak luluisan SD ini. Bismillah...saya selesaikam pendidikan saya di Gontor...
Nak, di Pesantren itu ada tirakatnya. Ada ga enaknya, bahkan bisa jadi ga enaknya itu lebih banyak dari enaknya. Masuklah Gontor dengan niat menuntut ilmu. Bukan biar bisa bahasa Arab, bukan biar bisa ke kuar negeri. Bismillah niati menutut ilmu..Nimati tirakat kamu, nikmati pendidikan mental yang luar biasa berat di Gontor ini. Kamu akan dimarahi, “tidak dipedulikan”, dibiarkan oleh teman-temanmu yang punya kesibukan sendiri-sendiri, jangan manja di pesantren. Atur hiudpmu sendiri, ikuti aturan pesantren..Kelak jika kamu sudah sampai di titik pncak, di kelas enam kamu akan menikmato semua hal ini dengan senyuman”
Panjang lebar saya bercerita kepadanya. Dia menangguk-angguk, semoga saya dia memahami apa yang sata ceriterakan diatas. Kualitas mental dari Santri dan Orang tua memang kebih menentukan dari kualitas intelejensi seorang santri. Disini mental dibina, disini mental diarahkan, disini mental dididik, disini mentaldibentuk. Biar kita tidak punya mental buruh yang hanya menengadahkan tangan, bingung cari kerjaan jika keluar dari Gontor, tidak tahu harus kemana setelah keluar dari Gontor, ga bisa jadi PNS sakit hati, ga bisa jadi Tentara lalu kecil hati. Kita diarahkan untuk menjadi pemuda yang mandiri, Ikhlas,siap mengajar dimanapun Allah menempatkan, berjuang lillah. Dimanapun Bumi berpijak, kitalah yang bertanggung jawab atas ke Islamanyya...
Semoga orang tua dan puteranya, dan kita semua segera menyadari bahwa kualitas mental di Gontor, jauh lebih perlu dipersiapkan dari pada Kualitas intelejensi yang bisa kita ikutkan di Program pembelajaran sebelum masuk Gontor. Karena mental itu tidak bisa di Kursuskan, tapi bisa diterapkan...
By ustad Okky Rahmatullah