Bunga Tanpa Mahkota #35
"Kamu ..." Meira terisak.
"Apa kau ingat?" Indra menyentuh wajahnya. Nafas lelaki itu begitu jelas terdengar di telinganya.
"Malam itu, aku mengantar Revan yang mabuk berat. Aku mengantarnya hingga ke tangga atas. Lalu turun ..." Indra menyentuh dagu Meira.
Terdengar tangisan Meira semakin menjadi. Ia mencoba untuk lari dari perangkap Indra. Tapi tubuhnya lemas.
"Lalu, aku dengar jeritanmu ..." Indra ingin mencium bibir Meira, tapi cepat wanita itu membuang wajahnya ke samping kiri.
"Aku naik ke atas lagi. Dan ku dengar kamu menangis di kamar Revan. Aku membuka pintu ..." ia terkekeh, " pintu itu tidak terkunci. Aku bisa samar- samar Revan mengikat tangan dan menutup mulutmu."
Meira merasa sesak, sulit bernafas. Siluet mengerikan malam itu seakan hadir kembali di hadapannya.
"Aku membiarkan ... Ku tunggu hingga akhirnya Revan rubuh di atas tubuhmu. Ahhh, kau juga pingsan." Kembali ia menyentuh dagu Meira, kemudian menyentuh pipi wanita itu.
"Aku dorong tubuh Revan ...hahaha, orang mabuk berat mana bisa bercinta," ia tertawa." Aku menikmati tubuhmu ..."Indra menurunkan tangannya dan menyentuh lengan Meira.
"Jadi ...."
"Ya, aku yang menikmati tubuhmu. Aku sayang."Tegasnya, suaranya begitu mengerikan.
Meira hanya bisa menangis.
"Aku mengnginkanmu sejak lama. Sejak melihatmu pertama kali. Tapi, kamu gak peduli. Kamu gak pernah melihatku," Indra seperti terdengar sedih." Makanya, malam itu tidak ku sia- siakan. Selain itu akan menghancurkan Revan dan keluarganya. Aku yang menikmati biarlah saudaraku itu yang menanggung rasa bersalah," Indra tertawa lagi.
"Tapi ... ternyata, justru kalian jatuh cinta. Ah..." Indra memukul dinding dengan telapak tangan kanannya, " makanya aku marah... Bahkan saat dia sudah di penjara kamu tetap mencintainta dan akan menunggunya." Indra terdengar marah.
Dengan tenaga yang dimiliki, ia mendorong Indra dengan ke dua tangannya yang gemetar, lelaki itu sempat mundur sedikit, tapi dengan cepat langsung mencekal lengan Meira. Sangat kuat.
"Lepasin ...." Meira kembali merasakan ketakutan itu. Indra menariknya ke dalam pelukannya. Meira berusaha melawan, tapi lagi- lagi ia kalah.
Indra mendekap pinggangnya. Meira meronta- ronta dengan suara parau. Indra kemudian membekap mulut Meira dengan tangannya. Sementara tangannya yang lain memegangi tangan Meira dengan posisi tangan di belakang. Kemudian menggiringnya ke samping, terdengar suara pintu ditendang, dan kemudian terbuka. Indra membawanya masuk ke kamar yang biasa ia gunakan untuk Clarissa tidur dan juga shalat.
Indra mendorong tubuh Meira dengan kuat hingga wanita itu jatuh ke lantai dan kepalanya terantuk benda keras. Meira merasakan sakit di sekitar keningnya.
Terdengar Indra menggerakan kunci, sepertinya sedang mengunci pintu. Kondisi ruangan sangat gelap. Seperti Kejadian setahun lalu.
*
Sedangkan di dalam sel tahanan, Revan menutup Al Qur'an di tangannya. Wajahnya terlihat risau. Ia gelisah.
Ia menatap dinding penjara yang penuh coretan, tulisan tangan. Ia melafalkan istighfar perlahan.
Kemudian terdengar ia menyebut nana istrinya dengan lirih," Meira ...."
*
Alisa terus mencoba menelpon ponsel Meira. Belum diangkat juga. Syahid mengemudikan mobilnya dengan cukup kencang.
"Belum diangkat!" Alisa gelisah.
Syahid terus memacu mobilnya di tengah jalan raya yang sudah tidak terlalu ramai.
Indra membanting ponsel Meira yang sejak tadi berbunyi, ke atas lantai lalu menginjaknya dengan kuat.
Meira menangis, dan berusaha menghindar. Tangannya meraba- raba di sekitarnya mungkin saja bisa menemukan sesuatu yang bisa ia jadikan senjata untuk memukul Indra.
"Indra!" Terdengar suara seseorang di luar.
"Aku tau kamu di dalam. Dasar ba**ngan!!!"Pintu kaca di luar di gedor dengan keras.
"Pengganggu," umpatnya. Ia menarik tangan Meira dengan kasar. Lalu, ia mengambil ponsel dari saku celananya dan menyalakan senter. Ruangan sedikit bercahaya. Ia taruh ponselnya di atas nakas. Kemudian membuka- buka laci, mencari sesuatu. Dan ia menemukan lakban berwarna hitam. Ia mendorong Meira hingga terjerembab ke tempat tidur. Kemudian menaruh kedua tangan Meira dibelakang pinggang.
******
Rupanya Nadia ada di luar, ia menuju meteran listrik yang ada di bagian dinding sisi kiri kafe. Menekan tombol biru ke arah on. Seketika suasana kafe menjadi terang. Meira sedikit bisa bernafas saat lampu menyala.
Ia berada di atas ranjang, dengan tubuh tengkurap. Kedua tangan dililit dengan lakban. Kakinya diikat dengan kain berwarna hitam. Pintu kamar terbuka, Meira bisa melihat dapur. Indra entah ke mana. Meira mencoba menggerakan tubuh dan tangannya. Ia ingin bangun, tapi sulit.
Indra membuka pintu kaca itu, dan menarik Nadia masuk ke dalam. Ia mengunci pintu kembali dan memasukan kunci itu ke kantong celananya.
Nadia menatapnya dengan nyalang. Ia hendak menampar Indra. Dengan cepat Indra menangkap pergelangan tangan Nadia dan mencengkeramnya dengan kuat.
"Kenapa kamu bisa ke sini?" Indra gusar.
"Aku hanya menduga- duga. Benarkan ternyata kamu ke sini. Kamu memang ba**ngan, Ndra!" Nadia meludahi wajah Indra. Itu membuat Indra makin marah.
"Kamu mau lari dari tanggung jawab kan? Pembohong!!!"
Satu tamparan keras mendarat di wajah Nadia. Gadis itu menangis, pipinya merah. Sudut bibir kanannya mengalir cairan merah.
"Kamu sudah tidak berguna. Rekaman itu sudah aku hapus," Indra terkekeh dengan sorot mata mengerikan.
Lalu, ia menyeret Nadia ke dapur. Di sana gadis itu di dorong hingga jatuh ke lantai tepat di depan kamar. Meira terbelalak melihat Nadia yang tersungkur di lantai.
Nadia merasakan sakit di perutnya, ia meringis sambil memegangi perutnya. Meira hanya bisa menangis.
Kemudian Indra muncul dan menarik rambut Nadia, memaksa gadis itu berdiri. Dan kemudian kedua tangan Indra mendarat di leher Nadia. Meira melotot dan ketakutannya semakin menjadi.
****
"Telpon polisi!" Perintah Syahid, ia mengeluarkan ponselnya dan menyodorkannya ke Alisa.
"Di situ ada nomer petugas kepolisian. Aku menulisnya police dalam bahasa inggris." Syahid terus mengemudikan mobilnya dengan cepat.
Alisa mengambil ponsel Syahid dan melakukan apa yang diminta pria itu. Alisa terlihat tegang.
"Kau yakin, Indra berbuat sesuatu pada Meira saat ini?" tanya Alisa sambil menunggu telpon yang masih belum terhubung.
Ia menyalakan loud speaker ponsel.
"Ya, aku yakin itu." Sahut Syahid tanpa rasa ragu.
Dan telpon pun terhubung.
******
Meira menangis dalam ketakutan. Ia menyaksikan tubuh Nadia yang terbaring kaku di atas lantai. Matanya terbelalak. Nadia sudah tidak bergerak. Indra terkekeh, seperti orang yang bahagia menatap Nadia yang terbujur kaku.
Kemudian Indra masuk ke kamar, dan duduk di sisi ranjang. Membelai kepala Meira dengan lembut. Meira makin gemetar.
"Kita akan pergi dari sini, dan hidup bahagia bersama." Ucapnya dengan suara lembut, tapi begitu mengerikan bagi Meira.
******
Letak White Rose Cafe memang agak berjauhan dengan beberapa resto dan kedai kopi lainnya. Jadi, memang sepi lingkungan sekitar kafe milik Revan itu.
Mobil honda jazz merah berhenti tak jauh dari kafe. Alisa ke luar dari mobil itu, ia melihat tak jauh dari mobil Syahid sebuah mobil fortuner terparkir. Jelas Alisa tahu siapa pemilik mobil itu.
Dengan berlari Alisa menuju kafe. Ketika hendak membuka pintu, ia tidak bisa membukanya karena pintu terkunci.
"Terkunci!" Alisa setengah berteriak kepada Syahid.
Syahid bergegas menuju bagasi mobil mengambil sesuatu, sebuah kunci roda untuk membuka ban mobil. Ia membawa benda yang terbuat dari besi itu, sampai di depan pintu kafe ia ayunkan benda itu untuk memecahkan pintu kaca.
"Indra!!!" Panggil Syahid. Tak ada sahutan.
"Meira!!!" Alisa berlari ke belakang kafe, mungkin saja pintu belakang tidak terkunci.
Sementara di dalam, Indra terlihat kesal. Ia membuka ikatan di kaki Meira. Kemudian menarik tubuh Meira agar berdiri.
Indra membawa Meira ke luar dari kamar. Meira menahan nafas saat melintasi Nadia yang terbujur kaku di lantai. Indra menggiringnya melewati meja yang ada di tengah dapur dan mengambil satu buah pisau. Meira semakin ketakutan. Lelaki itu menggiringnya ke ruang utama.
Syahid berhasil memecah kaca pintu kafe. Memecahnya hingga a bisa masuk ke dalam.
Indra berdiri di hadapannya dengan Meira yang ada dalam kuasanya. Ia menodongkan pisau itu ke arah leher Meira.
"Maju selangkah, aku akan lukai Meira!" Ancam Indra.
Syahid mengatur laju nafasnya, wajah putihnya merah dan berpeluh. Ia mencoba tenang, meski sedikit cemas melihat keadaan Meira yang sedang menjadi sandera.
"Oke," ucap Syahid berusaha tenang.
"Biarkan aku dan Meira pergi!" Indra mengayunkan kakinya dua langkah ke kiri. Syahid masih di tempatnya.
Indra terus bergerak, bergeser dengan menyeret Meira. Syahid diam saja. Kini Indra sudah dekat dengan pintu yang sudah dipecahkan oleh Syahid.
Alisa mengambil sebilah kayu ulin berukuran sedang yang ia temukan di samping bangunan kafe.
Ia melamgkah ke bagian depan kafe. Dan melihat Indra yang sedang memegangi Meira. Indra dalam posisi membelakangi pintu.
Syahid yang kini berdiri menghadap ke arah pintu, memberi kode pada Alisa melalui gerakan mata.
Meira hanya menangis saja. Pisau itu masih mengarah ke lehernya. Nafas Indra yang tak beraturan begitu terasa di telinga Meira yang tertutup kain jilbab. Tangannya terasa sakit. Tangan kiri Indra yang melingkar di sekitar lehernya membuat leher dan bahunya terasa pegal.
Alisa dengan kedua tangannya yang gemetar mengayunkan kayu tersebut dan memukulkannya tepat ke bagian tengkuk Indra dengan cukup keras. Sebenarnya kayu itu lumayan berat, tapi Alisa seperti mendapatkan kekuatan untuk melumpuhkan Indra.
Indra meringis, Alisa sekali lagi memukul punggung Indra. Ulin itu tentu saja menimbulkan rasa yang sakit yang dangat, jika di pukulkan ke bagian tubuh.
Indra melepas Meira dan berbalik. Ia melihat Alisa, tatapannya begitu sadis kepada Alisa.
Syahid langsung menyerang Indra. Menghajar lelaki itu. Indra melawan. Kunci roda yang Syahid pegang jatuh ke lantai, menimbulkan suara dentingan yang cukup keras. Alisa menerobos masuk dan membantu Meira berdiri. Melepas lakban dari mulutnya. Terdengarlah suara tangisan Meira yang penuh ketakutan.
Syahid dan Indra saling hajar, mereka kini berada di luar kafe. Pisau yang tadi di tangan Indra entah jatuh ke mana. Indra sangat kuat, Syahid jatuh dan kini Indra menghajar wajah Syahid, ia berada di atas tubuh Syahid.
Alisa histeris, ingin menolong tapi ia harus membawa Meira ke luar.
"Ayo kita ke mobil!" Alisa memegangi lengan Meira yang masih terikat dengan lakban. Mereka berjalan ke luar.
Syahid terjepit, Indra ada di atasnya dan mencekik lehernya. Perlahan Syahid menggerakan kedua tangannya, lalu menempelkan ke dua tangannya ke bagian pelipis Indra. Kemudian menekan mata Indra dengan ujung ibu jarinya. Indra mengerang kesakitan. Ia mundur dan terduduk di atas pasir.
Syahid bangkit dan menarik kerah baju Indra, menghempaskan lelaki itu ke atas pasir dengan posisi tubuh tengkurap. Syahid memelintir lengan kanan Indra. Lagi, sebuah erangan kesakitan terdengar dari mulut Indra yang babak belur.
Sebuah mobil patroli polisi akhirnya datang. Indra langsung lemas dan akhirnya pasrah. Empat orang petugas langsung mengamankan Indra. Menggiring pria itu ke mobil.
Meira menatap dari balik jendela mobil. Air matanya masih belum berhenti. Alisa sedang membuka lakban yang melingkar kuat di kedua pergelangan tangan Meira dengan sebuah pisau cutter yang ia ambil dari bagasi mobil Syahid.
Akhirnya kedua tangan Meira bebas. Ia menghela nafas lega, tangannya terasa pegal.
Kemudian, Meira berpelukan dengan Alisa.
Dua orang polisi memeriksa kondisi kafe. Dan mereka menemukan mayat Nadia.
Usai berbicara dengan polisi, Syahid mendatangi Alisa dan Meira yang berada di mobilnya. Mobil patroli itu pergi membawa Indra. Sedangkan dua polisi yang lainnya masih berada di dalam kafe.
Alisa membuka pintu mobil, ia melihat lebam di wajah Syahid, ada darah yang menempel di bibir merah pria itu. Alisa menatapnya iba.
"Hei, kau bawa mobilku. Pulanglah... aku masih ada urusan dengan mereka," ujar Syahid.
"Oke," sahut Alisa."Kau tidak pa-pa?"
"Ya," angguk Syahid," hanya sedikit sakit dan pegal," ia menyunggingkan senyum.
"Terimakasih Syahid," ujar Meira dengan suaranya yang parau. Syahid mengangguk pelan dan menatap Meira sesaat.
Alisa ke luar dari mobil.
"Besok, aku akan ke rumahmu," ujar Syahid. Alisa hanya mengangguk saja. Ingin sebenarnya mengobati luka di wajah Syahid. Ah, tapi sudahlah. Alisa harus membawa Meira pulang.
Ia pun masuk ke mobil, duduk di belakang kemudi. Sementara Meira duduk di jok belakang dengan kondisi yang masih syok berat.
*******
Ayah Nadia hanya bisa menangis begitu mengetahui putrinya meninggal. Ema meminta maaf padanya atas apa yang Indra lakukan kepada Nadia, walau itu sebenarnya tidak akan bisa menebus kesalahan putranya.
Perawat yang menjaga ayah Nadia menyerahkan ponsel dan secarik kertas yang Nadia titipkan sebelum ia pergi mencari Indra.
Ema membaca tulisan di kertas itu dengan linangan air mata. Isi pesan yang tertulis itu, meminta Ema untuk memberikan ponselnya itu kepada pihak berwajib. Di dalam benda persegi panjang itu ada suara rekaman Indra yang berisi pengakuan kejahatannya pada Meira.
Indra memanglah anaknya, tapi ia juga harus bersikap adil. Indra salah dan haris menerima hukumannya. Ema akan menyerahkan bukti itu kepada polisi setelah pemakaman Nadia.
*****
Meira memandangi langit yang tampak mendung melalui kaca jendela kamar Alisa. Semalam ia tidur di kamar Alisa.
Pintu terbuka, Alisa muncul dengan wajah ceria dan di sebelahnya ada dokter Dea.
" Meira," panggil Alisa. Meira menoleh ke arah Alisa.
"Ada dokter Dea," kata Alisa. Meira tersenyum dan langsung menghambur ke arah dokter Dea kemudian memeluknya.
Dokter itu membalas pelukan Meira. Membelai rambutnya yang tergerai, dengan lembut. Membiarkan Meira menumpahkan kesedihannya dalam pelukannya. Alisa meninggalkan mereka berdua di kamarnya.
Meira mengurai pelukannya kemudian mengajak dokter itu duduk di sofa. Duduk saling berhadapan, lalu menceritakan semua yang ia alami semalam kepada dokter Dea.
*******
Dipemakaman.
Andi mendekati Bahran yang terlihat begitu terpukul. Mereka saling bertatapan.
"Maafkan aku," ucap Andi. Bahran hanya mampu menatapnya, karena ia tak bisa berbicara.
"Tapi, penyebab kebakaran itu bukan aku. Bukan orang suruhanku," ujar Andi," aku minta maaf, karna pernah berbuat kasar padamu. Aku memang tidak suka jika Nadia menjadi menantuku," Andi mendesah.
"Alasanku karna aku tidak ingin berbesanan dengan seorang yang gemar mencuri."
Bahran tertunduk, ada rasa malu terlukis di wajahnya.
"Kau sering mencuri di hotel. Padahal aku menggajimu lebih dari para cleaning service lainnya. Aku pikir kau berubah. Ternyata tidak, selalu terulang lagi. Begitu juga dengan istrimu. Dia bekerja sebagai tukang cuci di rumahku, tapi dia sama seperti mu, suka mencuri barang- barang kami dan juga uang."
Andi menatap Bahran yang tertunduk malu." Dan aku tau, sengaja kau menyuruh Nadia mendekati Revan agar bisa masuk ke keluarga kami. Mencari cara agar kaya dengan cara instan. Itu yang membuatku tidak setuju. Walau aku tau Revan mencintai putrimu. Namun saat itu yang aku pikirkan adalah aku tidak sudi anakku menikah dengan orang yang mencintainya karna harta."
Andi menepuk bahu Bahran, pelan. Kemudian berlalu dari hadapan pria lumpuh itu.
Ema sedang bersama Rina di dekat mobil yang terparkir.
"Maafkan aku Rina. Andai aku jujur dari awal, mungkin ini tak akan terjadi."
Rina memeluknya, untuk beberapa saat dua wanita yang dulu adalah sahabat itu tenggelam dalam diam. Mereka saling menikmati pelukan itu. Pelukan yang dulu sering Ema berikan jika Rina sedang sedih. Begitu juga sebaliknya.
"Sudah Em, inilah takdir. Jalani saja," Rina melepas pelukannya. Ia mengusap air maranya dengan jemari lentiknya.
"Indra anak Andi. Saudara Revan dan Alisa. Walau Indra sudah melakukan banyak kesalahan, tetaplah kita sebagai orang tua memaafkannya dan tetap mencintainya. Indra cukup dekat dengan kami ,dulu dia sahabat Revan." Rina tersenyum.
"Rinaaa, kau polos. Tapi sangat tulus dan berhati lembut." Ema membalas tatapan Rina, " Andi memang pantas untukmu. Dia keras kepala, dan hanya kau yang mampu membuat dia tenang...."
Rina memegangi tangan Ema.
"Aku gagal mendidik anakku," dadanya terasa sesak," aku salah menyembunyikan soal ayahnya. Andai ...." Kembali air matanya berurai.
"Takdir kita begini amat, ya ..." Rina terkekeh sambil menangis.
Ema mempererat genggaman tangan Rina.
"Tapi, selalu ada hal indah dalam pahitnya takdir yang Tuhan berikan pada kita."
"Ya, kamu benar Rina," Ema menyeka air matanya. Andi memandangi dua wanita yang begitu berarti dalam hidupnya dari kejauhan.
Tapi ... tetaplah Rina yang patut ia cintai, karena wanita itu yang selalu mencintainya, selalu mampu memadamkan amarahnya, selalu setia dan senantiasa memaafkan dirinya.
******
Siang itu Meira diantar Alisa menemui Revan.
Meira langsung berlari ke dalam pelukan suaminya. Menangis sejadi- jadinya di atas dada bidang itu hingga baju yang Revan kenakan basah.
"Sabar sayang,"Revan mengecup kening Meira. Lalu mereka duduk berhadapan dengan kedua tangan yang saling bertautan. Alisa memilih menunggu di luar dan di sana bertemu dengan Syahid.
" Aku ... gak nyangka kalo Indra yang ...." Revan tak sanggup melanjutkan ucapannya.
"Iya Revan ..." Meira terisak," dia yang sudah merenggut kehormatanku."
"Maafkan aku, ini semua gara- gara aku," Revan merutuki dirinya. Andai tidak mabuk malam itu, mungkin saja tidak akan terjadi peristiwa mengerikan itu.
"Itu sebabnya, kenapa aku selalu takut kalo Indra ada di dekat ku."
"Ya, itulah insting," ujar Revan.
"Semoga semua ini cepat selesai. Dia diadili dan kau bisa bebas."
"Iya, Mei ... dan kita akan melalui hari- hari kita tanpa gangguan, tanpa dihantui rasa bersalah, trauma dan teror," Revan melepaskan genggamannya dan mengusap air mata istrinya dengan ujung ibu jarinya.
*****
"Apa wajahmu masih terasa sakit?" Alisa melihat pipi Syahid yang tampak lebam, pelipis kanannya diberi plester, keningnya tampak kebiruan. Tapi tetap saja terlihat tampan.
"Masihlah," sahut Syahid.
"Serem banget kejadian semalem," Alisa bergidik.
"Ya, tapi dengan begitu Indra mudah kita seret ke meja hijau," Syahid duduk di sebelah Alisa." Dia itu sepertinya mengalami gangguan kepribadian. Aneh..."
"Sepertinya begitu ... mengerikan."
"Tapi dia adikmu!"
"Iya ... bagaimana pun dia adik ku juga. Aku memaafkannya tapi tetap ingin dia diadili. Semoga saja dia dihukum seberat- beratnya." Alisa tampak emosi, mengingat betapa kejamnya Indra yang telah membuat fitnah pada Revan.
"Semoga," Syahid tersenyum kepada Alisa dan tanpa sengaja kedua netra mereka saling bertemu. Untuk beberapa saat mereka saling diam. Kemudian akhirnya tersadar, dan keduanya saling mengalihkan tatapan. Alisa merasakan pipinya menghangat.
******
Andi Mahesa menemui Indra. Beberapa detik ia memandangi Indra. Ia baru sadar, jika mata elang milik Indra berasal darinya. Mereka memiliki mata yang sama.
"Mau apa ke sini?" Indra memandang Andi dengan sinis.
"Aku sudah tau semuanya," Andi mendekati Indra." Kau putraku!" Andi memeluk Indra.
Untuk beberapa saat Indra diam saja. Bagaimana pun buruknya seorang anak, tetaplah seorang ayah akan selalu memaafkan kesalahan putranya.
Lalu tiba- tiba, Indra mendorong tubuh ayahnya dengan kasar.
"Tidak usah memelukku!" Indra gusar.
"Tenang Indra,"Andi mencoba menenangkan putranya.
"Selama ini aku diabaikan."
"Bukan seperti itu," sanggah Andi.
"Aku dihina, dipinggirkan. Aku butuh ayahku saat aku kecil ..."Indra menangis.
" Ibumu tidak mau memberi taukan kebenaran soal mu!"
"Aku mencarimu, dan aku ingin dekat denganmu. Aku dekat dengan saudaraku, dengan kalian. Tapi, aku sakit ...karna tidak berani mengungkapkan yang sebenarnya," Indra luruh ke lantai. Ia duduk dengan kedua lututnya yang ia peluk erat.
"Aku selalu sendiri ... Yaaa, sendiri."
Andi merasa sulit untuk bernafas melihat Indra seperti itu
"Apa yang Revan suka, harus aku suka. Tapi ... Meira, aku suka padanya sejak lama. Aku selalu menatap nya saat dulu, dia menggendong Clarissa yang masih kecil. Aku memandanginya saat ia dengan sabar menemani Clarissa bermain di halaman rumah. Tapi ..." Indra terisak," dia tidak tau ... "
Andi mulai merasakan matanya memanas.
"Aku juga membantu mu. Saat kau mengancam Nadia akan membakar rumahnya. Aku mewujudkan ancamanmu itu. Aku suruh pamanku untuk membakar rumah Nadia," Indra terkekeh, " aku senang bisa membantu ayahku, " ia kini tersenyum aneh.
Andi tak tahan melihat kondisi putranya itu. Wajahnya penuh lebam, sorot matanya begitu aneh, wajahnya melukiskan kepedihan yang mendalam.